Islam berpandangan bahwa harta kekayaan yang dimiliki setiap individu
adalah milik masyarakat. Karena pada asalnya harta tersebut adalah milik
Allah, kemudian dititipkan kepada manusia, agar dimanfaatkan olehnya
dan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya untuk tujuan kebajikan.
Hal inilah yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam ayat-ayat berikut :
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”. (Q.S. 24 : 33).
“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”. (Q.S. 57 : 7).
Berlebih-lebihannya orang kaya dalam membelanjakan harta serta
menghambur-hamburkan uangnya untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh
agama, berarti merusak keadaan masyarakat secara keseluruhan. Karena
harta adalah tulang punggung bagi masyarakat dan sumber kekuatan mereka.
Dengan harta, bisa didirikan pabrik-pabrik yang mampu menampung tenaga
kerja. Dengan harta, tanah bisa digarap untuk pertanian. Dengan harta
suatu bangsa dapat memperoleh guna melindungi mereka, dan lain
sebagainya yang bisa meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itu, Islam memerintahkan agar para penguasa mengawasi cara
pembelanjaan rakyat, jangan sampai menghambur-hamburkan uang yang akan
mengakibatkan kesengsaraan masyarakat.
Allah mensifati orang yang suka menghambur-hamburkan hartanya sebagai
orang yang safih(idiot); di samping kekayaannya harus diatur sedemikian
rupa.
Allah telah berfirman :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (QS. 4 :
5).
Kesimpulan ayat tersebut mengandung dua pengertian. Pertama harta orang
yang belum sempurna akalnya ialah harta umat. Yang kedua harta tersebut
tidak boleh diserahkan kepadanya seluruhnya dan pembelanjaannya harus
diatur.
Gejala berlebih-lebihan ini sekarang sudah menjadi model bagi segenap
lapisan masyarakat yang terdiri dari golongan orang-orang kaya atau
orang-orang kelas menengah.
Dalam kelas tinggi, kejadian penghambur-hamburan ini sering kita baca di
harian-harian. Salah satu di antaranya ialah apa yang diceritakan oleh
Harian ‘An-Nahar’ Lebanon
tanggal 31-12-1974 yang isi beritanya sebagai
berikut :
“Seorang lelaki yang memakai setelan jas warna gelap mengalami kekalahan
judi sebanyak sejuta dollar selama semalam. Dan tiga orang lainnya
mengalami kekalahan pula sebanyak lebih dari tiga orang lainnya
mengalami kekalahan pula sebanyak lebih dari sejuta dollar dalam masa
lima hari.
Selain kekalahan yang mereka derita mereka juga membelanjakan
uangnya secara berhamburan. Mereka itu adalah orang-orang kaya Arab.
Morris Jeffer, direktur kasino Hotel Grand memberi komentar, bahwa
selama dua belas tahun sejak berdirinya kasino ini, saya sering kali
melihat orang-orang yang menghambur-hamburkan uang mereka di tempat ini.
Tetapi, tak ada seorang pun di antara mereka yang seperti orang-orang
Arab dalam hal berjudi dan menghambur-hamburkan uang”.
Apabila kami terangkan kasus-kasus yang menyangkut seluk beluk orang
kaya Arab, maka ceritanya akan berkepanjangan. Kami kira hal ini tidak
usah diterangkan secara panjang lebar karena semua orang sudah
memakluminya.
Dalam golongan kelas menengah, gejala penghamburan ini sudah merata
pula. Kebanyakan harta mereka dibelanjakan untuk membeli peralatan rumah
tangga yang harganya amat mahal, karena kemampuan mereka terbatas
terpaksa membelinya dengan cara kredit.
Kehidupan masa sekarang telah
dipenuhi dengan berbagai macam kemewahan. Akibatnya ialah uang
dihambur-hamburkan untuk membeli hal-hal yang tidak perlu. Setiap pemuda
sekarang yang hendak melangsungkan perkawinan dibebani syarat-syarat
berat dari pihak orang tua calon istri. Sedangkan ia tidak mampu untuk
memenuhi permintaannya itu.
Dan ibu-ibu rumah tangga, sekarang banyak
yang meminta hal-hal di luar kemampuan suami karena terpengaruh oleh
tetangga-tetangganya atau memang atas keinginan mereka sendiri. Sehingga
timbullah problema-problema sosial. Hal ini terjadi di kala sang suami
terpaksa harus menempuh cara lain agar bisa memenuhi permintaan seperti
berjudi, menyuap atau terkadang korupsi. Tentu saja hal ini akan
menyebabkan rusaknya masyarakat, dan bisa menyeret pelakunya ke meja
pengadilan atau diusir dari pekerjaannya.
Mengingat akibat-akibatnya yang membahayakan, maka Islam melarang
berlebih-lebihan atau menghambur-hamburkan harta di jalan yang tak perlu
sekali.
Allah telah berfirman :
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. 7 : 31).
Rasulullah bersabda :
ان الله كره لكم ثلاثا : قيل وقال, وإضاعة المال وكثرة السؤال (رواه البخارى)
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai kalian dalam tiga hal : omong kosong,
menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya”( Hadits riwayat
Bukhari).
Islam pun menganggap terlalu boros adalah perbuatan yang berdosa karena
akan mengakibatkan ingkar terhadap nikmat Allah, Allah telah berfirman
:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan dan
syetan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya”. (QS. 17 : 27).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang suka
menghambur-hamburkan harta adalah saudara syetan. Karena perbuatan
memboroskan harta itu adalah ciri khas perbuatan syetan. Oleh karena
syetan juga ingkar terhadap Tuhannya, maka orang-orang yang meniru
perbuatannya termasuk salah satu di antara mereka. Ayat tadi merupakan
kecaman terhadap perbuatan menghambur-hamburkan uang.