Hukum Menghadiri Perayaan Keagamaan non Islam
1 Vote
Mengikuti Perayaan Keagamaan Non Islam Berarti Memberi Persaksian Palsu
Sebagai dasar ketetapan ini adalah firman Allah SWT dalam Al-Furqan ayat 72 yang berbunyi:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّواْ بِاللَّغْوِ مَرُّواْ كِرَامَا الفرقان ٧٢
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri kepalsuan ( memberikan persaksian palsu), dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Di dalam menginterpretasikan ayat ini terdapat beberapa riwayat dari Tabi’in dan lain-lainnya.
Diriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Annas, ia berkata,” Yang dimaksud adalah hari-hari raya orang-orang musyrik.” Dan yang semakna dengan ini diriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, “Yaitu permainan yang mereka lakukan pada zaman jahiliyah.
Diriwayatkan dari Amr bin Murrah bahwa yang dimaksud dengan :
لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ
( Tidak memberikan persaksian palsu/tidak mendatangi kepalsuan) ialah tidak terlibat dan tidak turut serta orang-orang musyrik dalam kemusyrikan mereka dan tidak bercampur-baur dengan mereka.”
Diriwayatkan dari Atha’ bin Yasar, ia berkata: Umar RA telah berkata:
إِيَّا كُمْ وَرِطَانَةَ اْلأَعَاجِمِ وَأَنْ تَدْخُلُواْ عَلَى الْمُسْرِكِينَ يَوْمَ عِيدِهِمْ فِى كَنَائِسِهِمْ
“Jauhkanlah dirimu dari pembicaraan-pembicaraan orang non Muslim yang tidak dimengerti, dan janganlah kamu masuk kepada orang-orang musyrik pada hari raya mereka di dalam gereja mereka.”
Tetapi ada suatu kaum yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan : “syahadatuz-zuur ( persaksian palsu) itu ialah berdusta. Namun pendapat ini perlu dianalisis, karena Allah berfirman :
لاَ يَشْهَدُونَ الزُّرَ
( tanpa menggunakan huruf ‘ Ba’) dan tidak mengatakan:
لاَ يَشْهَدُونَ بِالزُّرِ
( dengan menggunakan huruf ‘Ba’
Orang-orang Arab mengatakan, “Syahidtu kadzaa hadhartuhu ( Syahidtu kadzaa, dalam arti saya menghadirinya), seperti perkataan Ibnu Abbas RA:
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلم
“Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah SAW.”
Dan juga seperti perkataan Umar RA:
أَلْغَنِيمَةُ لِمَن شَهِدَ الْوَقْعَةَ
“Ghanimah ( rampasan perang) itu bagi orang yang menghadiri ( ikut serta dalam) peperangan.”
Redaksi seperti ini banyak didapati dalam pembicaraan mereka. Adapun perayaan-perayaan ( hari-hari besar) kaum musyrikin itu berupa syubhat, kesaksian, dan kebatilan yang tidak ada manfaatnya untuk agama dan tidak mendatangkan kelezatan dunia, maka hasilnya adalah kepedihan ( penderitaan), dan dengan demikian ia adalah kepalsuan/ kebohongan dan menghadirinya berarti memberikan persaksian/kesaksian kepadanya.
Kalau Allah memuji orang yang tidak menghadirinya hanya semata-mata menghadiri dengan melihat atau mendengar, maka bagaimana dengan orang yang menyetujui bahkan lebih dari itu terhadap amalan yang merupakan amalan/perbuatan palsu yang bukan cuma sekedar menghadirinya?
Kemudian, pujian dan sanjungan dalam ayat ini kepada mereka itu saja sudah mengandung pengertian sebagai anjuran kepada mereka untuk tidak menghadiri perayaan-perayaan mereka dan kepalsuan-kepalsuan lainnya. Dan menghadirinya ini merupakan suatu tindakan yang dibenci Allah, karena Dia menamakannya dengan “Zuur” ( kepalsuan)/ kebohongan).
Adapun alasan dari Sunnah ialah riwayat Anas bin Malik RA, ia berkata:
قَدِمَ رَسُو لُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم المَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَاهَذٰانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنهُمَا: يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمُ الْفِطْرِ
‘Ketika Rasulullah SAW memasuki Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang meriahkan dengan permainan-permainan. Melihat hal itu, Rasulullah SAW bertanya: “Ada apa dengan dua hari ini? Mereka menjawab: “Kami biasa bermain-main pada kedua hari raya itu pada zaman jahiliyah.
Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantinya dengan hari raya yang lebih baik untuk kamu, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. ( HR. Abu Duad, menurut syarat Muslim).”
Jalan pengambilan dalilnya; Ialah dua hari raya jahiliyah itu tidak diakui oleh Rasulullah SAW, dan beliau tidak mmembiarkan penduduk Madinah memeriahkannya dengan permainan sebagaimana biasanya. Bahkan beliau berkata, “Sesungguhnya Allah telah menggantiya dengan dua hari raya yang lain untuk kamu.
”Dan penggantiann terhadap sesuatu itu menuntut ditinggalkannya sesuatu yang digantikan, karena tidak dapat dihimpun antara pengganti dan yang digantikan, seperti firman Allah SWT:
وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيءٍ مِّن سِدْرٍقَلِيلٍ
“Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi ( pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon sidr.” ( Saba; 16). Dan juga seperti firmanNya;
فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُواْ قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيْلَ لَهُمْ
:Lalu orang-orangg yang zhalim mengganti perintah dengan ( mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka….” ( Al-Baqarah; 59).
Ketika beliau menanyakan kepada mereka tentang kedua hari itu, lalu mereka menjawab, “Bahwa itu adalah dua hari raya yang biasa mereka meriahkan dengan permainan pada zaman jahiliyah.” Menunjukkan bahwa beliau melarang mereka merayakan kedua hari raya itu dan menggantinya dengan dua hari raya Islam.
Tidak boleh Melaksanakan Nadzar di tempat yang menjadi Tempat Perayaan Jahiliyah
Imam Abu Daud meriwayatkan ( katanya); Telah diceritakan kepada kami oleh Syu’aib bin Ishaq dari al-Auza’i ( ia berkata); Telah diceritakan kepadaku Yahya bin Abi Katsir ( ia berkat); Telah diceritakan kepadaku oleh Abu Qilabah ( ia berkata); Tsabit bin Dhahhak bercerita kepadaku, katanya, “Seorang laki-laki bernadzar pada Rasulullah SAW, hendak menyembelih unta disuatu tempat yang bernama Buwanah, lalu Rasulullah SAW bertanya:
هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ لَهُمْ يُعْبَدُ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ كَانَ بِهَا عِيدٌ مِّنْ أَعْيَادِهِمْ؟ قَالَ : لاَ . فَقَالَ : أَوْفِ بِنَذْرِكَ. ثُمَّ قَالَ : لاَوَفَاءَ لِنَذْرٍ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلاَ فِيمَا لاَيَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
“Apakah di sana ada berhala jahiliyahh yang disembah? Ia menjawab, Tidak. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah di sana ditempati untuk perayaan ( hari raya) mereka? Ia menjawab, Tidak. Lalu beliau bersabda:
“Laksanakan nadzarmu.
Kemudian beliau melanjutkan sabdanya’ Tidak boleh melaksanakan nadzar untuk bermaksiat kepada Allah, dan tidak ada nadzar pada sesuatu yang tidak dimiliki anak Adam.”
Kalau penyembelih binatang di tempat perayaan orang mmusyrik itu diperbolehkan, niscaya Rasulullah SAW membenarkan orang bernadzar itu untuk melaksanakan nadzarnya di situ, bahkan beliau akan mewajibkan melaksanakannya di situ, karena penyembelih binatang di tempat yang dinadzarkan itu adalah wajib.
Kalau menyembelih binatang untuk nadzar di tempat hari raya ( perayaan) mereka saja dilarang, maka bagaimana lagi dengan menyetujui hari raya mereka dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya dilakukan berkaitan dengan upacara hari raya mereka?
Menjauhi Hari-Hari Raya Musuh-Musuh Allah
Imam Baihaqi meriiwayatkan dengan isnad shahih dari Abi Usamah ( ia berkata); Telah diceritakan kepada kamii oleh ‘Aun dari Abil Mughirah dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata:
مَنْ بَنَى بِبِلاَ دِ اْلأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُزَهُمْ وَمَهْرَجَانَهُمْ، وَتَشَبَّهُ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ، حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
‘ Barangsiapa berdomisili ( bertempat tinggl) di negeri orang Ajam ( orang kafir) dan terlibat dalam parayaan naizura dan karnaval mereka, lantas meniru-niru mereka hingga meninggal dunia, sedang dia masih tetap begitu ( belum bertaubat), maka dia akan dikumpulkan barsama mereka pada hari kiamat.”
Imam Baihaqi berkata, ” Dibencinya pengkhususan hari itu bukan berarti syara’ mengkhususkan larangan pada hari itu saja.
Bahkan Umar RA melarang menggunakan bahasa mereka dan melarang masuk gereja mereka pada hari raya mereka itu, padahal hanya masuk saja. Nah, bagaimana lagi kalau melakukan sebagian aktivitas mereka? Atau melakukan sesuatu yang merupakan tuntunan agama mereka?
Abdullah bin Amr mengambil sikap tegas dengan mengatakan: “Barangsiapa berdomisili / tinggal di negeri orang Ajam / kafir, dan terlibat dalam perayaan nairuz dan karnaval mereka, lantas meniru-niru / menyerupai mereka, hingga meninggal dunia ( belum bertaubat), maka ia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari Kiamat.”
Perkataan Abdullah bin Amr ini mengandung pengertian bahwa beliau menganggap kafir terhadap orang yang turut serta dalam semua urusan kaum kafir itu, atau menganggapnya sebagai dosa besar yang menyebabkan pelakunya disiksa di neraka, meskipun pengertian yang pertama itu nampak dari perkataan beliau itu.
Al-Khallal berkata di dalam al-Jami’ bab Fi Karahati Khurujil Muslimin Fi A’yaadil Musyrikin ( Bab tidak disukainya Kaum Muslimin Keluar pada Hari Raya Kaum Musyrikin), dan beliau mengemukakan riwayat dari Muhna, ia berkata : Saya pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang menyakksikan hari raya ini yang terjadi di lingkungan kami di Syam, seperti Thur Yabur, Dair Ayub dan sebagainya yang orang-orang Muslim menyaksikannya dan datang ke pasar-pasar yang diperjual-belikan kambing, sapi, gandum dan lain-lainnya di sana.
Mereka hanya masuk pasar untuk membeli sesuatu, dan tidak masuk gereja mereka. Maka Imam Ahmad menjawab; “Apabila tidak masuk gereja, dan hanya masuk pasar, maka tidak mengapa.” Imam Ahmad Rahimahullah hanya memberi dispensasi untuk masuk pasar dengan syarat tidak memasuki gereja mereka.”
Haramnya Makanan Ahli Kitab yang di sediakan untuk Upacara Hari Raya ( keagamaan Mereka
Sembelihan ahli kitab untuk hari-hari raya mereka dan yang mereka peruntukkan buat mendekatkan diri kepada sesembahan selain Allah itu seperti orang-orang Muslim menyembelih kurban mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti sembelihan mereka untuk al-Masih dan untuk bintang kejora.
Mengenai masalah ini terdapat dua macam riwayat dari Imam Ahmad, tetapi yang lebih masyhur dalam nash beliau adalah bahwa yang demikian itu tidak boleh dimakan, meskipun tidak disebut nama selain Allah. Pelarangan itu juga diriwayatkan dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.
Al-Maimuni berkata; “Saya pernah bertanya kepada Abdullah ( Imam Ahmad) tentang sembelihan ahli kitab. Lalu beliau menjawab, “Jika mereka sembelih untuk gereja, maka tidak halal memakannya ( bagi orang Muslim). mereka sengaja tidak menyebutnya, tetapi mereka menyembelihnya untuk al-Masih.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Walid bin Muslim dari al-Auza’i, “Saya pernah bertanya kepada Maimun tentang sembelihan orang Nashrani untuk hari raya dan gereja mereka, lalu beliau tidak mau memakannya.” Dan Imam Ahmad berkata,’ “Saya mendengar Abu Abdillah berkata, “Tidak boleh di makan, karena ia disembelih untuk selain Allah, dan boleh dimakan yang selain itu. Sesungguhnya Allah hanya menghalalkan sembelihan mereka yang disebut nama Allah pada waktu menyembelihnya.
Firman Allah SWT:
وَلاَ تَأْ كُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْ كَرِاسْمُ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu makan sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya……( Al-An’am; 121).
Dan firman-Nya lagi
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Dan ( diharamkan atas kamu memakan sesuatu) yang disembelih untuk berhala…..” ( Al-Maidah; 3).
Maka semua binatang yang disembelih untuk selain Allah tidak boleh dimakan dagingnya.
Penutup
Firman Allah SWT
قُلْ يٰآيُّهَا الْكٰفِرُونَ لآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُون وَلآَ اَنتُمْ عٰبِدُونَ مَآ اَعْبُدُ وَلآ اَنَاْ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلآ اَنتُمْ عٰبِدُونَ مَآ اَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah; Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan menyembah sebagaimana caramu menyembah. Kamu juga tidak menyembah sebagaimana caraku menyembah. Bagi kamu agamamu sendiri dan bagiku agamaku sendiri.” ( Al-Kafirun; 1-6).
Diterangkan dalam sebab turunnya surat bahwa beberapa pemimpin terkemuka bangsa Quraisy, di antaranyya Al Walid bin Al Mughirah, Al Aash bin Waa’id. Mereka datang kepada Nabi SAW dan berkata: Ya Muhammad marilah anda mengikuti agama kami dan menyembah tuhan kami setahun, kemudian kami juga akan mengikuti agamamu dam menyembah Tuhanmu setahun, supaya jika agamamu yang baik, kami pun telah mendapat bagian daripadanya, dan bila agama kami yang baik, kau pun telah mendapat bagian daripadanya.
Jawab Nabi SAW : “Saya berlindung kepada Allah jangan sampai mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun selain-Nya. Kemudian Allah menurunkan surat ini, maka pergilah Rasulullah SAW ke Masjidil Haram tempat berkumpulnya semua pemimpin bangsa Quraisy, dan berdiri di tengah-tengah mereka untuk membacakan surat ini selengkapnya kepada mereka.
Dan dengan ayat ke-6 ini ( Lakum dinukum wali yadin) Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafi’y, menyatakan bahwa semua kekufuran itu satu, sebab semua agama dalam kepalsuannya sama kecuali Islam yang semua amal perbuatannya, hukum ajarannya hanya dari tuntunan Allah, wahyu dari Allah maka itulah yang bernama agama Allah, yang tidak dinodai oleh buatan dan perkiraan manusia, karena itulah Rasulullah SAW bersabda; “Tidak saling waris memawisi kedua orangg yang berlainan agama. Dan di lain riwayat; “Seorang Muslim tidak dapat mewarisi ( menerima waris) dari seorang kafir meskipun ayah kandung dengan anak kandung. ( Lihat tafsier Ibnu Katsier IX, hal, 141-143).