Pertanyaan: “Assalaamu ‘alaikum ustadz ….., saya mau nanya, apakah boleh suami istri melaksanakan sholat ketika selesai jima’, tetapi belum melakukan mandi wajib (mandi junub), sedangkan waktu sholat mau habis ?”(Suci Amanah)
Jawab: Tentang hal tersebut, dapat kami sampaikan sebagai berikut :
#Pertama: Tidak boleh bagi siapapun untuk melaksanakan sholat, kecuali dalam keadaan bersuci lebih dulu. Apakah itu dengan wudhu apabila dia berhadats kecil, atau dengan mandi wajib atau mandi junub apabila dia berhadats besar. Hal itu karena thoharoh atau bersuci dari hadats (baik hadats yang kecil maupun hadats yang besar), merupakan salah satu syarat sahnya sholat. Tanpa bersuci, sholat yang kita lakukan tidak sah dan tidak akan diterima oleh Alloh Ta’ala.
Dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Alloh tidak menerima sholat salah seorang di antara kalian apabila dia berhadats, sampai dia berwudhu.”(HR Imam Al-Bukhori no. 135 dan Imam Muslim no. 225)
Juga berdasarkan hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول
“Sholat tanpa thaharoh (bersuci), tidak akan diterima (oleh Alloh). (Demikian pula), shadaqoh yang diberikan dari (harta) curian.”(HR Imam Muslim no. 224)
#Kedua: Apabila ada dua orang suami istri melakukanjima’(hubungan badan antara suami istri), maka wajib bagi keduanya untuk mandi. Apalagi sampai keluarnya air mani. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الماء من الماء
“Air itu berasal dari air.”(HR Imam Muslim no. 343, asalnya juga terdapat dalam Shohih Al-Bukhori no. 180)
Makna hadits ini, bahwa“mandi itu (diwajibkan) karena keluarnya air mani”. Yang dimaksud dengan air yang pertama adalah air yang telah kita kenal. Sedangkan yang dimaksud dengan air yang kedua adalah air mani.
Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Keluarnya mani yang diiiringi dengan syahwat, mewajibkan baginya mandi, baik itu laki-laki maupun wanita, baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan mimpi.
Ini adalah pendapat umumnya para fuqoha’ (ahli-ahli fiqh), demikian pula Al-Imam At-Tirmidzi, dan tidak ada khilaf (perselisihan pendapat diantara para ulama).” (Al-Mughni, 1/266) (lihat :Fathul ‘Allam, 1/288)
Bagaimana bila melakukan jima’, tetapi tidak sampai keluar air maninya ? Tentang masalah ini, mayoritas para ulama berpendapat : “Wajib baginya mandi, meskipun tidak sampai keluar mani.”
Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا جلس بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب الغسل
“Apabila seseorang (laki-laki) telah duduk di atas empat cabang (wanita), lalu dia bersungguh-sungguh (padanya), maka wajib baginya mandi.”
(HR Imam Al-Bukhori no. 291 dan Imam Muslim no. 348)
Kemudian dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan :
وإن لم ينزل
“…..meskipun tidak sampai keluar air mani.”(HR Imam Muslim no. 348)
Catatan: Tentang apa yang dimaksud dengan “empat cabang” (wanita), para ulama berbeda-beda pendapat. Ada yang mengatakan : “kedua kaki dan kedua ujung kemaluan”. Ada yang berpendapat : “kedua tangan dan kedua kakinya”. Ada yang berpendapat : “kedua betis dan kedua paha”. Ada yang berpendapat : “kedua paha dan kedua ujung kemaluan”……
(Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasan hadits no. 291) Wallohu a’lam.
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 216), dengan lafadz :
وألزق الختان بالختان فقد وجب الغسل
“Pertemuan/sentuhan antara khitan dengan khitan (yakni kelamin laki-laki dan wanita), maka wajib baginya mandi.”(sanadnya shohih)
Dalil lainnya, hadits Aisyah rodhiyallohu anhu, beliau berkata :
إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
“Apabila seorang (laki-laki) duduk diantara empat cabang (wanita), dan khitan bersentuhan dengan khitan (yakni kemaluan laki-laki bersentuhan dengan kemaluan wanita, edt.), maka wajib mandi.”(HR Imam Muslim no. 349)
Dalil lainnya, juga hadits Aisyah rodhiyallohu anhu : “Bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Ada seorang laki-laki menjima’i/menggauli istrinya, kemudian dia merasa malas/lemah (yakni tidak meneruskan jima’nya sampai keluar mani, edt.), apakah wajib bagi keduanya untuk mandi ?” Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab :
إني لأفعل ذلك، أنا وهذه، ثم نغتسل
“Sesungguhnya aku benar-benar telah melakukan hal itu, yakni aku dan dia ini (yakni Aisyah rodhiyallohu ‘anha, edt.), setelah itu kami mandi.”
(HR Imam Muslim no. 350)
Maka dalil-dalil tersebut di atas menunjukkan, bahwa tenggelamnya ujung kemaluan laki-laki ke dalam farji(vagina wanita), yang mana dengan hal itu berarti benar-benar telah terjadi jima’, maka hal itu mewajibkan mandi, meskipun tidak sampai keluar mani. Wallohu a’lam bis showab.
Namun sebagian ulama ada yang berpendapat lain, yakni bahwa semata-mata terjadi sentuhan antara dua khitan/dua kelamin saja, tanpa keluarnya mani, hal itu tidak sampai mewajibkan mandi. Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu anhu yang tersebut di atas, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الماء من الماء
“Air itu berasal dari air.”(HR Imam Muslim no. 343, asalnya juga terdapat dalam Shohih Al-Bukhorino. 180)
Yang mana makna hadits ini adalah, bahwa“mandi itu (diwajibkan) karena keluarnya air mani”.
Sehingga kalau tidak sampai keluar mani, maka tidak mewajibkan mandi. Mereka juga berdalil dengan atsar sebagian sahabat yang juga berpendapat seperti itu, diantaranya : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Az-Zubair bin Al-Awwam, Tholhah bin Ubaidillah dan Ubai bin Ka’ab rodhiyallohu ‘anhum ajma’in. (sebagaimana disebutkan dalam Shohih Al-Bukhorino. 292)
Tetapi tentang pendapat ini, dijawab/dibantah oleh Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh sebagai berikut, beliau berkata :
“Jawaban atas hadits-hadits yang dijadikan hujjah (argumentasi) oleh mereka, adalah bahwa hadits tersebut telah di-mansukh(dihapus hukumnya), demikian seperti yang dinyatakan oleh Jumhur Ulama. Kemudian telah shohih pula dari Ibnu Abbas, bahwa beliau punya jawaban yang lain (untuk membantah pendapat mereka), yakni bahwa hadits yang menyatakan bahwa“Air itu berasal dari air”,maknanya adalah : bahwa “tidak wajib mandi bagi orang yang melihat dalam mimpinya (bahwa dia sedang berjima’/bersetubuh), kecuali apabila dia benar-benar mengeluarkan air mani.”
Adapun atsar-atsar dari sebagian para sahabat (yang menyatakan bahwa berjima’ itu tidak mewajibkan mandi jika tidak sampai keluar air mani, edt.), maka sesungguhnya mereka itu mengatakan demikian sebelum sampai kepada mereka dalil-dalil lainnya yang menyatakan dimansukh-nya hukum tersebut. Dalil yang menunjukkan telah dimansukh-nya (dihapusnya hukum yang terkandung dalam hadits “air itu berasal dari air”), yakni hadits yang menceritakan : tatkala para sahabat berselisih dalam masalah itu, maka mereka mengutus (utusan) kepada Aisyah rodhiyallohu ‘anha (untuk menanyakan permasalahan mereka), maka beliau (Aisyah rodhiyallohu ‘anha) mengabarkan pada mereka, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Apabila seseorang (laki-laki) telah duduk diantara empat cabang (wanita), dan dia bersungguh-sungguh padanya, maka wajib wandi.”Kemudian setelah itu merekapun ruju’dari pendapatnya, untuk mengikuti perkataan Aisyah rodhiyallohu ‘anha.”
Dalil lainnya, hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Telah menceritakan kepadaku Ubay bin Ka’ab, bahwa fatwa yang dahulu mereka nyatakan bahwa “air itu berasal dari air”, maka ini adalah rukhshoh/keringanan yang diberikan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di permulaan dakwah Islam. Setelah itu beliau memerintahkan untuk mandi (dalam riwayat lain : “kami diperintah” untuk mandi) (Hadits shohih, HR Ad-Darimi no. 765, Abu Dawud no. 215, At-Tirmidzi no. 110, Ibnu Majah no. 609 dan Al-Baihaqi(1/165) dan lain-lain dengan sanad yang shohih.
At-Tirmidzi berkata : “haditsnya Hasan Shohih.”
Dari Mahmud bin Labid, dia berkata : “Aku bertanya kepada Zaid bin Tsabit, tentang seorang laki-laki yang menggauli istrinya, tetapi kemudian dia malas (tidak meneruskannya) dan tidak sampai mengeluarkan air mani, (apa hukumnya) ?” Dia berkata : “Dia (harus) mandi !” Aku berkata : “Sesungguhnya Ubay (bin Ka’ab) tidak berpendapat (wajibnya) mandi.” Maka Zaid mengatakan : “Sesungguhnya Ubay telah mencabut pendapatnya sebelum dia meninggal.” (HR Imam Malik dalam Al-Muwatho’(1/47), dengan sanad yang hasan………….. dst” (selesai penukilan dari perkataan Imam An-Nawawi rohimahulloh) (lihat :Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab(2/136-137), karya Al-Imam An- Nawawi rohimahulloh dan Al-Mughni(1/271), karya Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh)
Walhasil, kesimpulannya adalah : pendapat yang benar dalam masalah ini, bahwa terjadinya jima’, baik keluar air mani ataupun tidak sampai keluar mani, tetap wajib baginya mandi junub, wallohu a’lamu bis showab. (ihat :Fathul ‘Allam, 1/292-293)
#Ketiga: Apabila suami istri yang telah selesai dari melakukan jima’, lalu dia mandi besar (mandi junub), lalu dia sholat meskipun waktunya hampir habis, maka sholatnya tetap sah, dan dia dianggap telah mendapatkan sholat apabila dia masih “sempat mendapatkan satu roka’at” sebelum waktunya habis.
Dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Barangsiapa (sempat) mendapati satu roka’at di waktu Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapatkan sholat Shubuh. Dan barangsiapa (sempat) mendapati satu roka’at di waktu Ashar sebelum matahari tenggelam, maka dia telah mendapatkan sholat Ashar.”
(HR Imam Al-Bukhori no. 579 dan Imam Muslim no. 608)
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang telah mendapatkan satu roka’at di waktu Ashar sebelum matahari tenggelam, atau mendapati satu roka’at di waktu Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia telah dianggap mendapatkan sholat. Yakni, bila dia sholat shubuh misalnya, di akhir waktu, lalu ketika baru dapat satu roka’at, tiba-tiba matahari telah terbit, maka dia boleh menyempurnakan sisa roka’atnya, dan sholat shubuhnya sah. Demikian pula dalam sholat ashar, wallohu a’lamu bis showab.
Masalah: Ada orang yang sengaja meninggalkan sholat tanpa udzur (yakni sengaja menunda-nunda melakukan sholat, hingga keluarnya waktu sholat), apakah ada qodho’ sholat baginya (yakni, bolehkah dia mengganti sholatnya, meskipun di luar waktu sholat yang ditentukan) ? Tentang masalah ini, para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat yang masyhur, diantaranya :
**Pertama, Jumhur ulama berpendapat : bahwa orang yang mengakhirkan atau menunda-nunda sholatnya tanpa udzur hingga keluar dari waktunya, maka orang yang seperti ini berdosa dengan dosa yang besar, dan tetap diwajibkan baginya untuk melaksanakan sholat yang belum dilakukannya tersebut, meskipun telah keluar dari waktunya (waktunya habis).
Hal itu karena adanya sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
فدين الله أحق أن يقضى
“Maka hutang kepada Alloh itu lebih berhak untuk ditunaikan/dibayar.” (HR Imam Al-Bukhori no. 1953 dan Imam Muslim no. 1148)
Mereka mengatakan : “Apabila orang yang tertidur atau orang yang lupa saja tetap wajib bagi mereka untuk menunaikan sholat (yang mereka tinggalkan karena lupa atau karena tertidur), yang mana mereka ini termasuk orang-orang yang diberi udzur, maka orang yang sengaja meninggalkan sholat karena menunda-nundanya, mereka lebih utama untuk mengqodho’ (menunaikan sholat yang belum mereka lakukan), karena mereka bukanlah orang-orang yang mempunyai udzur.”
**Kedua, sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm rohimahulloh, Al-Humaidi, sebagian ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah, seperti Al-Jauzajani, Abu Muhammad Al-Barbahari, Ibnu Baththoh, dan lainnya berpendapat :
tidak wajib qodho’ (yakni tidak perlu mengganti atau menunaikan sholat yang mereka tinggalkan karena mengakhirkan atau menunda-nunda pelaksanaannya hingga habis waktunya tersebut).
Hal itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan untuk sholat itu waktu-waktu yang telah ditentukan. Disamping itu Alloh Ta’ala juga telah berfirman :
وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥ
١
“Itulah hukum-hukum Alloh. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
(QS At-Tholaq : 1)
Hal itu tidak ada bedanya antara orang yang melaksanakan sholat sebelum masuk waktunya, dengan orang yang sholat tetapi telah lewat waktunya (keluar waktunya). Maka kedua-duanya dianggap belum menunaikan sholat. Disamping itu, untuk menyatakan bolehnya seseorang untuk mengqodho’ sholat yang telah keluar dari waktunya, hal itu tidaklah boleh ditetapkan kecuali dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berdalil dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Barangsiapa terlewatkan dari menunaikan sholat Ashar, seolah-olah dia telah terputus dari keluarga dan hartanya.”
Hal ini menunjukkan, bahwa apa yang telah terlewatkan, maka tidak ada jalan lagi untuk bisa mendapatkannya. Dan masih banyak dalil-dalil dan alasan lainnya yang menunjukkan tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ atau mengganti/menunaikan sholat yang telah terlewatkan karena sengaja mengakhirkan/menunda-nunda pelaksanaannya. Dan pendapat kedua inilah yang dirojihkan/dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim dan As-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahumulloh.
Adapun pendalilan kelompok pertama dengan hadits :“Maka hutang kepada Alloh itu lebih berhak untuk ditunaikan/dibayar.”Maka ini adalah pendalilan yang tidak pada tempatnya. Karena yang dituntut untuk melaksanakan/menunaikan sholat sebagaimana dalam hadits ini, adalah apabila masih dalam waktu yang telah ditentukan oleh Alloh Ta’ala.
Sedangkan orang yang sengaja menunda-nunda/mengakhirkan waktu sholat hingga keluar dari waktunya, maka ini termasuk orang yang meremehkannya, dan dengan sebab itu dia berdosa dengan dosa yang besar. Wallohu a’lamu bis showab. (lihat : Al-Muhalla (no. 279),Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(3/71), Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori(no. 579) karya Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hambali, dan Silsilah Ahaadits As-Shohihah(1/100) karya Syaikh Al-Albani rohimahumulloh ajma’in. Lihat pula,Fathul ‘Allam, 1/450)

