Hukum Gadai dalam Islam
Oleh Abu Ibrahim Muhammad Ali
Sesungguhnya Alloh Ta’ala menjelaskan
berbagai hukumNya baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di
dalamnya kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Alloh telah mengatur manusia dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak
ada kezhaliman yang timbul darinya. Sehingga terciptalah kerukunan,
kedamaian dan terselesaikanlah pertikaian dan perselisihan sesama
manusia ketika memperebutkan hak masing-masing.
Di antara aturan
tersebut, Alloh mengatur bagaimana manusia tukar menukar barang yang
saling mereka butuhkan dan tidak membiarkan manusia memenuhi
kebutuhannya menurut hawa nafsunya – yang memang diantara tabiat manusia
ialah suka berbuat zhalim terhadap sesama[1] kecuali mereka yang dirahmati Alloh Ta’ala.
Alloh menjelaskan jalan-jalan menuju
keridhaanNya dan menutup segala jalan menuju kemurkaanNya. Sebagai satu
bukti, ketika seseorang tidak mempunyai harta/uang – sedangkan dia
sangat membutuhkannya – maka dia boleh meminjam harta/uang kepada orang
lain baik dengan jaminan atau tanpa jaminan, demi terpenuhi kebutuhan
yang diinginkannya. Adapun barang yang dijadikan jaminan itu disebut
barang gadai.
Berikut ini kami jelaskan sedikit masalah
“gadai” menurut pandangan Islam dengan merujuk kepada nash-nash /
dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama, diantaranya empat
madzhab yang telah kita kenal. Semoga Alloh memudahkan dan menjadikan
manfaat bagi kita semua.
MAKNA GADAI
Makna gadai secara etimologi / bahasa adalah “tertahan” sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an:
“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38)
Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh:
“Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”
Makna gadai menurut istilah ahli fiqh
adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak
dapat melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul
Ma;bud 9-10 / 319)
HUKUM GADAI DALAM ISLAM
Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan[2]. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
- Dalil dari al-Qur’an
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan
sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati
penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang.
(QS. Al-Baqarah [2] : 283)
- Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang
Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari
3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)
DIBOLEHKAN KETIKA SAFAR DAN TIDAK TIDAK SAFAR
Dari dalil-dalil di atas, dan masih
benyak lagi hadist-hadist lain, menunjukkan bolehnya pegadaian baik
ketika bepergian / safar ataupun tidak dalam bepergian. Ibnul Mundzir
mengatakan, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal
tersebut kecuali Mujahid saja yang mengatakan pegadaian hanya boleh
ketika safar”. Adapun zhahir ayat yang disebutkan di atas (yaitu
bolehnya pegadaian untuk orang yang bepergian / safar saja), maka
penyebutan bepergian atau safar tersebut karena sering terjadi dan
biasanya tidak dijumpai seorang penulis hutang adalah ketika safar, dan
ini tidak meniadakan bolehnya pegadaian ketika tidak safar.
Bolehnya pegadaian ketika tidak safar
dikuatkan pula oleh zhahir hadist Aisyah Radhiyallahu’anha yang
mengatakan bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menggadaikan perisai
perangnya ketika beliau sedang berada di Madinah ; ini menunjukkan Nabi
melakukannya ketika tidak sedang safar.
Dan boleh nya pegadaian ketika sedang
safar dan tidak safar dikuatkan oleh makna gadai itu sendiri yang
artinya adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang”. Ini
adalah isyarat inti dari pegadaian ialah untuk jaminan, sama saja ketika
safar atau tidak safar (Lihat al-Mughni 6/444, Fathul Bari 5/173-174,
al-Majmu’ 1/305, Bidayatul Mujtahid 2/271, al-Muhalla bil Atsar 6/362)
BARANG YANG BOLEH DIGADAIKAN
Segala sesuatu yang boleh
diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga
apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan.
Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan
apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai
(pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut
bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan
barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul
Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Oleh karena itu, seandainya sesorang
ingin meminjam uang kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak
diperbolehkan karena anak tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana
hadists yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga golongan yang dibantah oleh Alloh
pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut, Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam menyebutkan:
Dan (Alloh akan membantah) seorang yang menjual (orang) yang merdeka[3] dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)
Seandainya seseorang ingin meminjam uang
dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing
dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak
boleh diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh
diperjualbelikan. Hal ini didasari oleh sebuah hadist Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam :
Sesungguhnya Alloh apabila mengharamkan
sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual beli)nya. (Hadist ini
dishahihkan al-Albani dalam Ghayatul Maram)
Seandainya seseorang menggadaikan sebuah
rumah padahal rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak
sah karena sesuatu yang telah diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana
hadist yang menjelaskan tentang hal itu, Nabi Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda:
Tidak boleh dijual barang asal (yang
diwakafkan) tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. (HR.
Bukhari 2737, Muslim 1632, Tirmidzi 1375 dari hadist Ibnu Umar
Radhiyallahu’anhu)
Dari contoh-contoh di atas, dapat kita
ketahui bahwa setiap barang yang bisa / boleh diperjualbelikan maka
boleh dijadikan barang gadai.
SIAPA PEMEGANG BARANG GADAI?
Pada dasarnya, yang berhak memegang
barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang,
karena barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia
berikan kepada si peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh
orang yang meminjami sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak
sama-sama rela dan merasa tsiqah/percaya satu sama lain.
Akan tetapi,
seandainya salah satu dari mereka merasa tidak aman dan tidak rela
barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu tadi, maka barang
tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati oleh kedua
bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang
meminjami sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’
9/82, dengan penyesuaian)
ANTARA HARGA BARANG DAN BESARNYA HUTANG
Dari definisi dan penjelasan makna
gadai di atas, kita bisa mengetahui bahwa barang yang digadaikan adalah
sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi hutangnya, dan
barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut, sehingga
tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah
hutangnya, bahkan boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela
(suka sama suka).[4]
Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya, maka
pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya dan
boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar, karena barang
tersebut berstatus milik penggadai barang. (Lihat al-Mabsuth 21/63,
al-Bada’i 6/145)
BOLEHKAH BARANG GADAI DIMANFAATKAN OLEH PEMEGANG BARANG?
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu pula semua imam madzhab empat kecuali madzhab Hanbali[5]
bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan
oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini
disebabkan karena pemegang barang tidak memilikinya, bahkan barang
tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini
didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
Tidaklah halal harta seorang muslim
kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya. (Hadist shahih, dishahihkan
al-Albani dalam Shahih wa Dh’if Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul
Ghalil no. 1761, 1459)
APABILA MENJUAL BARANG GADAI TANPA SEIZIN PEMILIKNYA
Seandainya pemegang barang terlanjur
memanfaatkannya, serta menjual atau menyewakannya tanpa seizin
pemiliknya, maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali penjualan dan
sewa-menyewa tersebut batal dan tidak sah. Adapun menurut Imam Hanafi
dan Imam Malik, penjualan dan sewa menyewa tersebut hukumnya tergantung
kepada pemilik barang, apabila ketika pemilik barang mengetahui kemudian
menyetujui, maka sah penjualan atau sewa menyewa itu, apabila tidak
maka batal dan tidak sah.[6]
Pendapat terakhir inilah (Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan
dasar sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya
seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi Radhiyallahu’anhu pernah
dititipi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam satu dinar untuk
membeli satu ekor kambing qurban, lalu Urwah pergi ke pasar hewan
membeli dua ekor kambing seharga satu dinar, kemudian sebelum kembali
kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ia menjual satu ekor kambing
seharga satu dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing
dan uang satu dinar, dan tatkala Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
mengetahuinya, beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam menyetujui dan mendo’akan keberkahan buat Urwah.
Hadist
ini menunjukkan apabila seorang menjual atau membeli sesuatu tanpa
persetujuan pemiliknya yang sah, kemudian pemiliknya yang sah ketika
tahu lalu menyetujuinya, maka sah transaksi tersebut, dan apabila tidak
menyetujui maka batal dan tidak sah.
KERUGIAN DAN KEUNTUNGAN YANG TIMBUL DARI BARANG GADAI
Adapun kerugian atau keuntungan yang
muncul dari barang yang sedang digadaikan dan sedang berada di tangan
pemegang barang, maka semuanya dikembalikan kepada penggadai (pemilik
barang) yang asli. Hal ini lantaran keuntungan dan kerugian /
berkurangnya barang tersebut adalah cabang dari pokoknya, sehingga
dikembalikan kepada pokoknya – yaitu barang gadai – dan dikumpulkan
menjadi satu dengan barang gadai serta tetap menjadi hak milik penggadai
(pemilik barang).
Ini merupakan kesepakatan ahli fiqh dari berbagai
kalangan madzhabnya masing-masing[7], hal ini didasari sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :
Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang
yang digadaikan bagi pemiliknya yang menggadaikannya, keuntungan dan
kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik barang)[8]
Misalnya; seorang meminjam uang kepada
orang lain,kemudian menggadaikan seekor kambing betina yang sedang
hamil. Tatkala penggadai mau melunasi hutangnya dan mengambil barang
yang digadaikan tadi, ternyata kambing miliknya telah melahirkan tiga
ekor, dan dari tiga ekor tadi melahirkan sembilan ekor, sehingga
kambing-kambing itu berjumlah tiga belas ekor, maka semua kambing tadi
termasuk barang gadai dan tetap hak milik penggadai barang. Dan begitu
pula sebaliknya, seandainya ternyata kambing yang sedang hamil tadi mati
tanpa adanya faktor kesenjangan dari pemegang barang, maka kerugian
tersebut dikembalikan kepada pemilik barang, dan tidak menjamin kerugian
karena tidak ada unsur kesenjangan.
PADA ASALNYA YANG MENANGGUNG BIAYA PERAWATAN SELAMA DIGADAIKAN ADALAH PEMILIK BARANG
Apabila barang gadai membutuhkan
biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan
yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai
(pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua
kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan
sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak
aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di
toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/
satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri,
dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko)
itu.
BOLEH MEMANFAATKAN BARANG GADAI SEKEDAR PENGGANTI BIAYA PERAWATAN
Apabila barang yang digadaikan bisa
dimanfaatkan, sedangkan barang terebut membutuhkan biaya perawatan, dan
pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka pemegang barang
boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas / seimbang dengan biaya
yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut, hal ini
didasari oleh satu hadist:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu
berkata bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung
(hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya
yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya)
boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan
tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum
susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511,
2512)
Hadist di atas menunjukkan, pemegang
barang berhak memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang
dikeluarkan untuk perawatan barang gadai, seperti biaya makan dan minum
setiap hari dan lainnya. (Lihat Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil
Maram 5/161)
Dari hadist di atas bisa kita ketahui
bahwa bolehnya memanfaatkan barang gadai tersebut membutuhkan biaya
perawatan. Sedangkan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan
selama digadaikan seperti perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya
tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin
pemilik barangnya, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Dan dari hadist di atas pula (dari
perkataan “sebatas biaya yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang
barang memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara
pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya
perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku zhalim atau sampai
membahayakan barang gadai tersebut.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan
sapi perahnya kepada orang lain, maka boleh bagi pemegang barang memerah
susu sapi tersebut dan memanfaatkan susunya sebatas pengganti biaya
perawatan sapi perah itu. Apabila biaya perawatannya selama seminggu
adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu
minggu adalah Rp 150.000, maka pemegang barang hanya berhak mengambil
yang seimbang dengan biaya perawatannya yaitu Rp. 100.000. kemudian
pemegang barang harus mengembalikan lebihnya yaitu Rp 50.000 kepada
pemilk barang gadai karena ini adalah haknya. (asy-Syahrul Mumti’ 9/97,
dengan perubahan angka dan penyesuaian)
APABILA JATUH TEMPO PEMBAYARAN HUTANG
Apabila telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
- Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman Alloh berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah [5] : 1)
- Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)
Dan pemilik barang masih mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang
tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana sabda Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu[9].
Ibnu Atsir mengatakan , “Termasuk
perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik barang tidak mampu
melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik
pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”[10]
Akan tetapi apabila pemegang barang
ingin menarik / menuntut haknya karena dia membutuhkannya – misalnya –
maka dia berhak menuntut haknya supaya pemilik barang[11] bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.
- Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )
APABILA PEMILIK BARANG GADAI RUSAK / HILANG DI TANGAN PEMEGANG BARANG
Apabila barang gadai rusak/hilang di
tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak
menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai
barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang
dilakukan oleh pemegang barang.
- Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang
telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai /
pemilik barang)”.
- Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah
amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan
seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak
menanggung kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan.
- Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman:
Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. at-Taubah [9] : 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan
mobilnya kepada si fulan, kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk
mengangkut penumpang tanpa seizin penggadainya. Sehingga dalam jangka
waktu sekian lama, mobil itu rusak dan membutuhkan biaya perbaikan yang
besar. Maka si fulan harus menanggung semua biaya perbaikan mobil
tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas terjadinya kerusakan
mobil tersebut.
Misal lain; seandainya pada permisalan di
atas tadi si fulan tidak menggunakan mobil itu, bahkan menyimpannya di
tempat yang selayaknya, kemudian datanglah seorang pencuri pada malam
hari dan mencuri mobil gadai tersebut, maka si fulan tidak menanggung
kehilangan mobil tersebut karena tidak ada unsur kesengajaan dari si
fulan (pemegang barang) ini.
Demikian pembahasan pegadaian menurut
Islam. Mungkin masih ada poin-poin yang belum terbahas dan kurang
sempurna, atau belum mencakup semua sistem pegadaian yang ada di tanah
air kita.
Perlu diingat, hukum yang
kami sebutkan dalam pembahasan ini (diperbolehkannya pegadaian) adalah
yang sesuai dengan syari’at Islam berikut syarat-syarat yang telah kami
sebutkan di atas. Adapun sistem pegadaian yang ada di tanah air kita,
maka tidaklah bisa dihukumi secara umum diperbolehkan, terutama apabila
didalamnya ada sistem-sistem yang menyelesihi syari’at Islam.
Mudah-mudahan bermanfaat. Wallohu A’lam.
OLEH : HOLAZ

