Senin, 08 Agustus 2016

Ketahuilah Pengertian Najis Dan Pembagiannya

Bab 1. Pengertian Najis & Pembagiannya

 

1. Bahasa

Istilah najis berasal dari bahasa Arab, yaitu an-najasah (النجاسة). Secara bahasa an-najasah bermakna al-qadzarah (القذارة) yang artinya adalah kotoran.


تَنَجَّسَ الشَّيْءُ
Sesuatu telah terkena atau menjadi najis

2. Istilah

Sedangkan secara istilah, najis menurut definisi Asy-Syafi'iyah, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qalyubi dalam kitab, Hasyiyata Al-Qalyubi wa Umairah, adalah :




مُسْتَقْذِرٌ يَمْنَعُ صِحَّةَ الصَّلاَةِ
Sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat.
Al-Khatib Asy-Syarbini dalam kitab Al-Iqna' juga menuliskan definisi yang sama persis.
Dan menurut definisi Al-Malikiyah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Arafah yang dinukil oleh Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir, bahwa najis adalah :





صِفَةٌ حُكْمِيَّةٌ تُوجِبُ لِمَوْصُوفِهَا مَنْعَ اسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ بِهِ أَوْ فِيهِ 

Sifat hukum yang mencegah bolehnya seseorang melaksanakan shalat bila terkena atau berada di dalamnya.

B. Hukum-hukum Terkait Najis

Ada beberapa ketetapan hukum syariah yang perlu untuk diperhatikan terkait dengan benda-benda najis atau terkena najis.

1. Tidak Berdosa Menyentuh Najis

Berbeda dengan ketentuan najis pada agama-agama samawi sebelumnya, yang mengharamkan umatnya bersentuhan dengan benda-benda najis, dalam syariat Islam, seorang muslim tidak berdosa bila tersentuh najis, baik dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.

Konon dalam agama Yahudi Allah SWT menetapkan ketentuan yang amat keras tentang najis. Di antaranya, bila seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka pakaiannya itu tidak bisa lagi disucikan untuk selama-lamanya. Jadi pakaian itu harus dibuang, atau bagian yang terkena najis harus dirobek, dan ditambal dengan kain baru.

Dan bila najis itu tersentuh pada badan, maka kulitnya harus dikelupas, lantaran benda yang terkena najis tidak bisa selamanya disucikan.
Sedangkan seorang muslim tidak diharamkan untuk bersentuhan dengan benda-benda najis, asalkan bukan sedang menjalankan ibadah ritual yang membutuhkan kesucian dari benda najis.

Oleh karena itu dalam syariat Islam, profesi sebagai tukang sampah dan petugas kebersihan hukumnya halal. Meski setiap hari si tukang sampah pasti selalu bergelimang dengan kotoran dan harus bersentuhan dengan benda-benda najis.

Dalam pandangan syariah yang turun kepada Rasulullah SAW, sekedar menyentuh benda najis saja hukumnya tidak dilarang. Yang penting nanti bila mau shalat, semua najis itu dibersihkan terlebih dahulu dari badan, pakaian dan tempat shalat.

Demikian juga seorang muslim boleh bekerja di rumah potong hewan sebagai penyembelih hewan. Meski setiap hari badan dan pakaiannya bersimbah dengan darah hewan yang hukumnya najis, bahkan juga terkena kotoran atau air kencing hewan yang hukumnya najis juga, tetapi sekedar tersentuh benda najis bagi seorang muslim, hukumnya tidak haram.

Dan menjadi petugas penyedot WC yang kemana-mana naik mobil tinja juga tidak haram, meski setiap hari bergelimang dengan isi septik-tank. Sebab pada prinsipnya dalam syariat Islam, sekedar menyentuh benda najis bukan perbuatan yang haram atau terlarang.

2. Syarat Sah Shalat dan Ibadah Lainnya

Shalat dan beberapa jenis ibadah yang senafas lainnya mensyaratkan pelakunya terbebas dari benda najis, baik pada badan, pakaian atau tempatnya. Di antara ibadah yang lainnya adalah thawaf, khutbah Jumat dan lainnya.
Seorang muslim baru diwajibkan untuk mensucikan dirinya dari benda-benda najis yang terdapat pada badan, pakaian dan tempatnya, manakala dia akan melakukan ibadah ritual tertentu.

Karena suci dari najis adalah syarat sah dalam ritual beribadah, dimana seseorang tidak sah menjalankan shalat bila badan, pakaian atau tempat shalatnya tidak suci dari najis.
Maka pada saat itulah dibutuhkan cara berthaharah yang benar, sebagaimana yang diajarkan dalam ketentuan syariat Islam.

3. Haram Dimakan

Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun syariat Islam mengharamkan seorang muslim memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan alasan pengobatan. Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan makanan haram.
Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah SWT :

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ 

Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-A'raf : 157)
Piring Bekas Orang Kafir
Piring, gelas dan alat-alat makan bekas orang kafir terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah suci atau tidak?
Sesungguhnya ludah dan tubuh orang kafir itu suci dan bukan benda najis, sehingga kalau masalahnya hanya semata-mata makanan bekas orang kafir, tidak ada masalah dalam hal kesuciannya ,sebagaimana kisah dalam hadits berikut ini.

أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ 

Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a'rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata'Ke kanan dan ke kanan'. (HR. Bukhari)

Namun yang jadi masalah adalah bila orang kafir itu memakan makanan yang dalam pandangan syariah hukumnya najis, seperti khamar, anjing, babi, bangkai atau hewan-hewan lain yang diharamkan, apakah alat-alat makan bekas mereka itu lantas digeneralisir secara otomatis selalu menjadi najis, walaupun secara zahir tidak nampak?

Dalam hal ini, umumnya para ulama tidak mengharamkannya bila tidak nampak secara zahir sisa bekas benda-benda najis di dalam alat-alat makan bekas mereka. Umumnya mereka hanya hanya memakruhkan bila seorang muslim makan dengan wadah bekas orang kafir yang belum dibersihkan atau disucikan. Sehingga hukumnya tetap boleh dan makanan itu tidak menjadi haram.

Semua itu hukumnya boleh bila hanya sekedar berdasarkan rasa ragu saja. Namun bila jelas-jelas ada bekas najisnya secara kasat mata, maka haram hukumnya memakan dari wadah itu, kecuali setelah disucikan.

4. Haram Digunakan Untuk Berobat

Secara umum para ulama sepakat mengharamkan benda najis digunakan untuk berobat, kecuali bila dalam keadaan yang bersifat darurat.
Ada begitu banyak dalil yang digunakan untuk mengharamkan pengobatan dengan benda-benda najis, di antaranya adalah sabda Nabi SAW berikut ini :

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَل شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu pada apa-apa yang Dia haramkan untukmu. (HR. Bukhari)

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ
Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi janganlah makan obat dari yang haram. (HR. Abu Daud)


عَنْ طاَرِقِ بْنِ سُوَيدٍ الجَعْفِي أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولُ اللهِ r عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. فَقَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Thariq bin Suwaid al-Ja'fi radhiyallahuanhu berkata bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum minum khamar dan Rasulullah saw. mengharamkannya. Dia bertanya,"Tetapi ini untuk pengobatan." Maka Rasulullah saw. menjawab, "Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit." (HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizy)


أَنَّ دَيْلَمْ الحُمَيْرِي سَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله إِنَّا بِأَرْضٍ بَارِدَةٍ نُعَالِجُ فِيْهَا عَمَلاً شَدِيْدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا مِنْ هَذَا القَمْحِ نَتَقَوَّى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلىَ بَرْدِ بِلاَدِنَا. قَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ يُسْكِر؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فاَجْتَنِبُوه، قَالَ: إِنَّ النَّاسَ غَيْرَ تَارِكِيْهِ. قاَلَ: فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ فَقَاتِلُوهُمْ
Dailam Al-Humairi bertanya kepada Nabi saw.,"Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang sangat dingin, tempat kami melawannya dengan perbuatan dahsyat, yaitu dengan cara meminum qamh ini. Khasiatnya bisa menguatkan tubuh kami dan melawan rasa dingin negeri kami." Rasulullah saw. bertanya, "Apakah minuman itu memabukkan?" "Ya, memabukkan," jawabnya. "Tinggalkanlah," kata Rasulullah saw. "Tapi orang-orang tidak mau meninggalkan minuman itu," balasnya. Maka Nabi saw. bersabda,"Kalau mereka tidak mau meninggalkan minuman itu, perangilah mereka." (HR. Abu Daud)

5. Haram Digunakan Beristijmar

Beristinja' adalah mencusikan dan membersihkan sisa bekas buang air kecil atau buang air besar. Bila menggunakan benda selain air, disebut dengan istilah istijmar.
Dan Rasulullah SAW melarang kita beristijmar dengan menggunakan benda-benda najis, seperti kotoran hewan atau tulang bangkai, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits berikut ini :


نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظَمٍ
Beliau SAW melarang kita beristinja' dengan tahi atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)

6. Haram Diperjual-beli kan 

 

Mazhab Asy-Syafi'iah termasuk di antara mazhab yang mengharamkan benda najis untuk diperjual-belikan. Pendapat itu berdasarkan hadits berikut ini :


لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا
Dari Abu Daud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,"Allah SWT telah melaknat orang-orang Yahudi, lantaran telah diharamkan lemak hewan, namun mereka memperjual-belikannya dan memakan hasilnya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Di luar mazhab Asy-syafi'iyah, ada juga pendapat para ulama membolehkan benda najis untuk diperjual-belikan. Namun pendapat mereka terpecah, ada yang membolehkan mutlak dan ada yang memilahnya. Maksudnya bahwa yang diharamkan hanya pada sebagian barang, tetapi bila memang bermanfaat dan dibutuhkan, hukumnya dibolehkan.


a. Kotoran Hewan 
Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah pada dasarnya benda najis itu haram untuk diperjual-belikan, namun bila bisa diambil manfaatnya, hukumnya boleh.
Kotoran hewan adalah benda najis, maka haram diperjual-belikan. Namun bila yang diperjual-belikan adalah tanah, dan kebetulan tercampur kotoran hewan, dalam pandangan mazhab ini hukumnya boleh. Karena yang dilihat bukan kotoran hewannya, melainkan tanahnya.


Artinya, kalau semata-mata yang diperjual-belikan adalah kotoran hewan, hukumnya masih haram. Tetapi kalau kotoran hewan itu sudah dicampur dengan tanah sedemikian rupa, meski pada hakikatnya masih mengandung najis, namun mereka tidak melihat kepada najisnya, melainkan melihat ke sisi tanahnya yang bermanfaat buat pupuk.
Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah secara umum tetap mengharamkan jual-beli kotoran hewan, walaupun sudah dicampur tanah.

b. Darah
Darah termasuk benda najis, oleh karena itu haram hukumnya diperjual-belikan. Namun bila darah itu diberikan begitu saja tanpa imbalan, seperti donor darah, maka hukumnya diperbolehkan.
Dan hal itulah yang pada hakikatnya dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Institusi itu tidak melakukan jual-beli darah, meski para pendonor diberi semacam imbalan, berupa makan dan minum. Namun pada hakikatnya yang terjadi bukan jual-beli darah, melainkan donor darah.


Dan hukum mendonorkan darah termasuk hal yang mulia bila dipandang dari sisi syariah. Alasannya karena untuk menolong orang sakit yang sangat membutuhkan transfusi darah.

c. Kulit Bangkai
Kulit bangkai hukumnya najis, karena itu juga menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah disamak, sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk diperjual-belikan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ
Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum disamak) dan syarafnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)
Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab (إهاب). Rasulullah SAW melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Saw bersabda :

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ 

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR. Muslim)

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
Namun ada juga pendapat ulama yang tetap menajiskan kulit bangkai, meski telah disamak, yaitu sebagian ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah. Sehingga dalam pandangan mereka, jual-beli kulit bangkai pun tetap diharamkan.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Kharasyi dan Ibnu Rusydi Al-Hafid.

Ibnu Rusydi menyebutkan bahwa penyamakan tidak ada pengaruhnya pada kesucian kulit bangkai, baik secara zhahir ataupun batin.
Mazhab Asy-Syafi'iyah juga melarang jual-beli kulit bangkai, karena hukumnya najis dalam pandangan mereka.

d. Hewan Najis dan Buas
Meski termasuk hewan najis, namun karena bisa bermanfaat, dalam pandangan mazhab ini, boleh hukumnya untuk memperjual-belikan anjing, macan atau hewan-hewan buas lainnya, bila memang jelas ada manfaatnya.
Di antara manfaat dari hewan buas ini adalah untuk berburu, dimana Allah SWT memang membolehkan umat Islam berburu dengan memanfaatkan hewan buas.


وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ
(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).(QS. Al-Maidah : 4)

Sedangkan al-kalbul-'aqur ( الكلب العقور) yang sering diterjemahkan secara sederhana menjadi 'anjing berwarna hitam', ada nash hadits yang secara tegas melarang kita untuk memperjual-belikannya, bahkan ada perintah buat kita untuk membunuhnya.

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid, yaitu tikus, kalajengking, elang, gagak dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)

Istilah al-kalbu al-'aqur (الكلب العقور) dalam banyak versi terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia sering disebut sebagai anjing hitam. Penerjemahan ini seringkali menimbulkan tanda tanya, ada apa dengan anjing berwarna hitam sampai harus dibunuh? Dan apa benar penerjemahan ini sesuai dengan maksud aslinya?
Ketika menjelaskan maksud al-kalbu al-'aqur para ulama tenyata berbeda-beda. Mereka juga berbeda dalam menetapkan hewan apa saja yang termasuk ke dalam kelompok ini.

Sebagian ulama mengatakan bahwa maksudnya bukan semua anjing yang berwarna hitam, tetapi anjing yang buas. Istilah al-aqur dimaknai sebagai anjing liar yang buas. Sedangkan anjing peliharaan manusia, meski pun berwarna hitam, tentu bukan termasuk yang harus dibunuh.
Dan meski anjing itu buas dalam arti dia digunakan untuk berburu, namun tidak dimasukkan ke dalam kriteria al-'aqur, sehingga bukan merupakan hewan yang harus dibunuh. Sebab kalau anjing pemburu dimasukkan ke dalam kelompok al-'aqur ini, maka syariat kebolehan berburu dengan menggunakan hewan hewan pemburu menjadi tidak berguna.

Dan kalau dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW yang sedang bicara tentang kebolehan jamaah haji yang sedang berihram untuk membunuhnya, tentu maksudnya bukan hewan pemburu yang dipelihara, namun maksudnya lebih tepat kalau merupakan anjing liar yang buas dan terkadang mengganggu manusia, termasuk ketika sedang berhaji. Kebolehan ini merupakan izin khusus yang tujuannya untuk melindungi jamaah haji dari serangan hewan seperti itu.

Oleh karena itulah maka jumhur ulama, yaitu mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, sepakat memasukkan semua hewan liar dan buas ke dalam kriteria al-kalbu al-aqur. Sehingga macan, harimau, singa, srigala, dan semua hewan liar dan buas termasuk ke dalam deratan fawasiq yang kita dibolehkan untuk membunuhnya. Dan oleh karena itu, maka daging hewan-hewan itu termasuk haram dimakan.

Namun Mazhab Al-Hanafiyah menolak perluasan ini. Mereka sepakat bahwa yang diperintahkan kita membunuhnya adalah anjing liar dan buas, namun tidak sepakat kalau hewan-hewan lain yang juga liar dan buas dimasukkan ke dalam makna al-kalbu al-'aqur.
Alasannya karena Rasulullah SAW membatasi jumlahnya dengan bilangan empat atau lima. Selain itu karena hewan lain yang liar dan buas sudah punya istilah sendiri, yaitu as-sabu'u (السبع).

Maka penerjemahan yang lebih tepat menurut hemat Penulis bukan anjing hitam, melainkan anjing liar yang buas dan berbahaya.
Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah, hewan-hewan yang buas itu tetap haram untuk diperjual-belikan, meski bermanfaat untuk digunakan dalam berburu.

e. Khamar
Termasuk yang dilarang untuk diperjual-belikan karena kenajisannya adalah khamar, dimana umumnya para ulama memasukkan khamar ke dalam benda najis. Dan memang ada dalil yang secara tegas mengharamkan kita meminum serta memperjual-belikannya.

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
Yang telah Allah haramkan untuk meminumnya, maka Allah juga mengharamkan untuk menjualnya. (HR. Muslim)
Maka membuka warung atau minimarket yang menjual minuman keras haram hukumnya. Selain karena menjadi sumber dosa dan kemaksiatan, secara hukum syariah, jual-beli khamar itu termasuk transaksi yang tidak sah.

Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang muslim diharamkan memiliki khamar, sehingga bila seorang muslim merusak khamar atau menumpahkan khamar yang dimiliki oleh seorang muslim juga, maka yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk menggantinya.

f. Daging Babi 

Termasuk juga ikut ke dalam keumuman larangan dalam hadits ini adalah daging babi. Daging babi itu haram dimakan, maka otomatis hukumnya juga haram untuk diperjual-belikan.
Maka secara hukum syariah, bila umat Islam melakukan jual-beli daging babi, meski legal namun hukumnya tidak sah.

7. Haram Ditempatkan Pada Benda Suci

Termasuk yang dilarang untuk dilakukan dalam syariat Islam adalah menghina tempat-tempat suci dengan benda najis.
a. Haramnya Membawa Najis ke dalam Masjid
Di antara dalil tentang haramnya memasukkan benda-benda najis ke dalam masjid adalah hadits-hadits berikut ini :


عَنْ عَائِشَةَ t قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ بِالمَسَاجِدِ أَنْ تُبْنىَ فيِ الدُّوْر وَأَنْ تُطَهَّر وَتُطَيَّب
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,"Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid di tengah-tengah perumahan penduduk, serta memerintahkan untuk membersihkannya dan mensucikannya. (HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizy)
Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, umumnya masjid belum ada karpetnya. Lantai masjid di masa itu hanya berupa tanah atau pasir tanpa alas untuk shalat. Merupakan kelaziman di masa itu, baik beliau SAW maupun para shahabat ridhwanullahi 'alaihim, untuk masuk ke masjid dengan mengenakan alas kaki, sandal atau sepatu.

Namun sebelum masjid ke dalam masjid yang harus suci itu, alas kaki mereka harus disucikan dan dibersihkan dari najis. Mengesetkan sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah adalah salah satu cara menghilangkan najis tanpa mencucinya.

Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam, sebagaimana hadits berikut ini :


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَخَلَعَ النَّاسُ نِعَالَهُمْ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا قَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا فَإِنْ رَأَى بِهَا خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abi Sa'id Al Khudri radhiyallahuanhu berkata bahwasanya Rasulullah SAWshalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya." (HR. Ahmad)
Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum shalat.


إِذَا أَصَابَ خُفَّ أَحَدِكُمْ أَوْ نَعْلَهُ أَذًى فَلْيَدْلُكْهُمَا فِي الأْرْضِ وَلْيُصَل فِيهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ طَهُورٌ لَهُمَا
Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan (HR. Abu Daud)
Suatu ketika masuk seorang Arab dusun ke dalam masjid Nabawi dan buang air kecil di dalamnya. Maka hal itu membuat para shahabat marah dan ingin menghukum orang tersebut. Namun beliau mencegah mereka dan menasehati baik-baik orang itu, dan yang beliau lakukan adalah membersihkan bekas air kencing itu dengan seember air.


قَامَ أَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
Seorang Arab dusun telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersabda,"Biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air". (HR. Bukhari)
b. Haramnya Menodai Mushaf Al-Quran Dengan Najis
Juga haramnya menempelkan benda najis ke mushaf Al-Quran yang suci dan mulia, karena hal itu merupakan salah satu bentuk penghinaan.

C. Pembagian Najis

Ada banyak kriteria untuk membagi najis. Kita bisa membaginya sesuai dengan bermacam kriteria. Di antaranya berdasarkan tingkat kesulitan pensuciannya, atau berdasarkan sumber najis, juga bisa berdasarkan wujud najis itu, serta bisa juga berdasarkan asli atau turunan.

1. Berdasarkan Tingkat Kesulitan Pensucian

Jenis-jenis najis oleh mazhab Asy-Syafi'iyah dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan dalam mensucikan atau menghilangkannya.
Ada yang sangat mudah untuk dihilangkan. Bahkan meski secara fisik sebenarnya belum hilang, tapi secara hukum sudah dianggap suci, cukup dengan melakukan ritual tertentu.
Dan sebaliknya ada yang sangat berat bahkan meski secara fisik sebenarnya najis itu sudah hilang tetapi masih tetap dianggap najis bila belum dilakukan ritual tertentu. Dan yang ketiga adalah najis yang berada di tengah-tengah.

a. Najis Ringan
Najis ringan sering juga diistilahkan dengan mukhaffafah (مخفّفة). Disebut ringan karena cara mensucikannya sangat ringan yaitu tidak perlu najis itu sampai hilang. Cukup dilakukan ritual sederhana sekali yaitu dengan memercikkannya dengan air dan tiba-tiba benda najis itu berubah menjadi suci.
Satu-satunya najis ini adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa pun kecuali air susu ibu. Bila bayi itu perempuan maka air kencingnya tidak termasuk ke dalam najis ringan, tetapi tetap dianggap najis seperti umumnya.

Demikian juga bila bayi laki-laki itu sudah pernah mengkonsumsi makanan selain susu ibu, seperti susu kaleng buatan pabrik, maka air kencingnya sudah tidak lagi bisa dikatakan najis ringan.
Semua ini tidak ada alasan ilmiyahnya. Semua semata-mata hanya berdasarkan ketentuan ritual dari Allah SWT. Allah SWT sebagai Tuhan maunya disembah dengan cara itu.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ t قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ r يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلامِ
Dari As-Samhi radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi SAW bersabda"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja. (HR. Abu Daud An-Nasai dan Al-Hakim)
b. Najis Berat
Najis berat sering diistilahkan sebagai najis mughalladzhah (مُغَلَّظَة). Disebut najis yang berat karena najis itu tidak bisa menjadi suci begitu saja dengan dicuci atau dihilangkan secara fisik. Pencucian najis itu harus dilakukan lewat praktek ritual tertentu.
Ritualnya adalah mencuci benda yang terkena najis itu dengan air, dimana pencuciannya dilakukan sebanyak tujuh kali. Dan ketentannya, salah satu dari ketujuh pencucian itu harus dengan menggunakan tanah.

Perlu dicatat bahwa pencucian 7 kali ini semata-mata hanya upacara ritual. Demikian juga penggunaan tanah sama sekali tidak dikaitkan dengan manfaatnya. Penggunaan tanah itu tidak diniatkan misalnya untuk membunuh bakteri, virus atau racun tertentu yang -seandainya- ada terkandung pada najis itu. Tetapi semata-mata hanya ritual dimana Allah SWT ingin disembah dengan cara itu.
Maka penggunaan tanah tidak bisa diganti dengan sabun, deterjen, pemutih, pewangi atau bubuk-bubuk kimawi lainnya yang didesain mengandung zat ini dan itu.


Dasar dari semua ini adalah hadits Rasulullah SAW :
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذْ وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sucinya wadah air kalian yang diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim)
Dalam mazhab Asy-Syafi'i najis berat hanya dua saja yaitu anjing dan babi.
c. Najis Pertengahan
Najis yang pertengahan sering disebut dengan mutawassithah (متوسطة). Disebut pertengahan lantaran posisinya yang ditengah-tengah antara najis ringan dan najis berat.
Untuk mensucikan najis ini cukup dihilangkan secara fisik 'ain najisnya, hingga ketiga indikator najis sudah tidak ada lagi. Ketiga indikator itu adalah :
  • warna (لون)
  • rasa (طعم)
  • aroma (ريح)
Semua najis yang tidak termasuk ke dalam najis yang berat atau ringan berarti secara otomatis termasuk ke dalam najis pertengahan ini.

2. Berdasarkan Sumber

Berdasarkan dari mana sumber najis itu, kita bisa bedakan najis berdasarkan najis dari tubuh manusia, najis dari tubuh hewan dan najis di luar keduanya.

a. Tubuh Manusia
Di antara najis yang berasal dari tubuh manusia adalah darah, nanah, muntah, air kencing, mazi, wadi, tinja, dan segala yang keluar dari kemaluan depan atau belakang. Air mani oleh jumhur ulama dianggap juga sebagai najis, namun Mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air mani bukan benda najis. Khusus untuk masalah najis tidaknya air mani, akan kita bahas pada bab-bab selanjutnya.
Sedangkan status tubuh manusia itu sendiri pada dasarnya suci, baik dia muslim atau kafir, dalam keadaan hidup atau sudah menjadi jenazah.
Demikian juga dengan air liur, potongan tubuh dan janinnya, semuanya termasuk benda suci.

b. Tubuh Hewan
Pada dasarnya semua bagian najis yang ada pada tubuh manusia, juga termasuk najis bila bersumber dari hewan. Maka darah, nanah, muntah, air kencing, mani, mazi, wadi, tinja dan segala yang keluar lewat kemaluan depan dan belakang dari hewan, pada hakikatnya adalah benda-benda najis.
Namun ada jenis hewan yang tubuhnya ditetapkan sejak awal sebagai benda najis, seperti babi, anjing, hewan buas, bangkai dan lainnya.

c. Selain Manusia dan Hewan
Najis yang bukan dari tubuh manusia dan hewan di antaranya adalah khamar menurut jumhur ulama. Khamar biasanya terbuat dari buah-buahan seperti kurma dan anggur, yang diproses sedemikian rupa sehingga berubah wujudnya menjadi benda yang lain.


وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. (QS. An-Nahl : 67)

3. Berdasarkan Wujud

Kalau kita bagi najis itu berdasarkan wujudnya, maka ada najis yang berwujud benda cair dan juga ada yang berwujud benda padat

a. Wujud Cair
Di antara najis-najis yang berwujud cair misalnya darah, nanah, muntah, wadi, mazi, air kencing dan lainnya.
Dan termasuk juga dalam deretan najis yang berbentuk benda cair adalah air yang terkontaminasi benda najis, dimana jumlah air itu sedikit sedangkan najisnya banyak. Sehingga air itu berubah menjadi tercemar dengan benda najis itu.
Sedangkan bila jumlah airnya sangat banyak, sedangkan najisnya hanya sedikit, maka yang najis hanya bagian yang ada najisnya dengan radius terdekat.
Najis yang wujudnya cair ini bila tersentuh bagian badan, pakaian atau tempat shalat, harus dicuci dengan air yang mengalir agar hilang warna, rasa dan aromanya. Tidak cukup bila hanya diseka dengan kain, karena najis yang basah menyerap pada pori-pori tubuh atau pakaian dan tempat shalat.

b. Wujud Padat atau Kering
Najis yang berbentuk padat maksudnya adalah najis yang bukan benda cair. Contohnya adalah benda-benda najis di atas tetapi yang sudah mengering. Sehingga najis itu juga bisa disebut dengan najis kering.
Prinsipnya, bila ada benda yang hukumnya najis, tetapi sudah mengering, sehingga bila tersentuh badan tidak membekas sama sekali, para ulama menyebutkan bahwa najis itu tidak menempel. Sehingga meski menyentuh benda najis, asalkan tidak ada bekas yang menempel, karena keringnya, tidak perlu dibersihkan.

Contoh yang sederhana adalah bila seseorang memegang badan anjing yang kering tanpa keringat, sementara tangan orang yang menyentuhnya pun juga kering tanpa keringat. Maka bila memang sudah dipastikan tidak ada sama sekali bekas najis di tangan, tidak dikatakan bahwa tangan itu mengandung atau terkena najis.
Boleh disimpulkan bahwa manakala najis itu tersentuh badan tapi tidak ada bekasnya karena kering, maka badan itu tidak dikatakan terkena najis.

4. Berdasarkan Najis dan Mutanajjis

Kita bisa membagi dua benda najis itu berdasarkan asli atau turunan.
a. Najis Asli
Najis asli adalah benda-benda yang disebutkan dalam nash-nash syar'i, baik langsung atau tidak langsung, atas status kenajisannya.
Di antaranya adalah darah, nanah, muntah, wadi, mazi, air kencing, tinja, baik yang sumbernya dari manusia ataupun hewan, adalah contoh diantara benda-benda yang aslinya memang najis.
Termasuk dalam kategori najis adalah tubuh hewan darat yang mati tanpa disembelih secara syar'i, alias bangkai. Dan termasuk ke dalam kategori bangkai adalah potongan tubuh hewan yang terlepas dari tubuhnya, dimana hewan itu masih dalam keadaan hidup.

Beberapa jenis hewan yang masih hidup juga ditetapkan dalam syariat Islam sebagai hewan yang najis, seperti babi dan anjing dalam mazhab Asy-Syafi'iyah. Mereka menetapkan bahwa babi dan anjing bukan hanya najis pada air liurnya saja, namun seluruh tubuhnya termasuk keringatnya adalah benda najis.
Semua benda itu disebut najis asli, karena memang sudah ditetapkan oleh syariat Islam sebagai benda najis.

b. Najis Turunan
Yang dimaksud dengan najis turunan adalah bahwa sebuah benda yang asalnya benda suci, namun terkena atau terkontaminasi dengan benda najis. Sehingga benda suci itu berubah menjadi benda najis. Dalam ilmu fiqih, benda itu disebut mutanajjis (متنجس), yaitu benda suci yang tercampur najis.
Misalnya air yang kita gunakan sebagai media untuk bersuci. Air itu hukumnya suci dan bahkan juga mensucikan.

Tetapi kalau air itu terkena benda najis, sementara jumlahnya sedikit, sehingga air itu berubah warna, rasa atau aromanya akibat terkena benda najis itu, maka air itu pun menjadi air yang najis.
Demikian juga minyak yang telah beku, bila kejatuhan bangkai tikus misalnya, maka bagian yang terkena bangkai itu hukumnya najis atau disebut mutanajjis.
Pakaian yang terkena tetes air kencing, maka hukumnya ikut menjadi najis dan tidak sah bila digunakan untuk mengerjakan shalat. Karena celana yang terkena air kencing itu merupakan benda tercemar najis atau disebut mutanajjis. ¨


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ketahuilah Pengertian Najis Dan Pembagiannya

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar