Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Sebelum kita membahas dari arti sempit rezeki tetapi sehat, kita akan membahas apa yang di maksud dengan makna Rezeki
Apa itu rezeki?
Rezeki adalah:
Sebelum kita membahas dari arti sempit rezeki tetapi sehat, kita akan membahas apa yang di maksud dengan makna Rezeki
Apa itu rezeki?
Rezeki adalah:
هُوَ
كُلُّ مَا تَنْتَفِعُ بِهِ مِمَّا اَبَاحَهُ اللهُ لَكَ سَوَاءٌ كَانَ
مَلْبُوْسٌ اَوْ مَطْعُوْمٌ … حَتَّى الزَّوْجَة رِزْق، الاَوْلاَدُ وَ
البَنَاتُ رِزْقٌ وَ الصِّحَةُ وَ السَّمْعُ وَ العَقْلُ …الخ
“Segala sesuatu yang bermanfaat yang Allah halalkan untukmu,
entah berupa pakaian, makanan, sampai pada istri. Itu semua termasuk
rezeki. Begitu pula anak laki-laki atau anak peremupuan termasuk rezeki.
Termasuk pula dalam hal ini adalah kesehatan, pendengaran dan
penglihatan.”Dari pengertian di atas, rezeki ternyata tidak identik dengan harta dan uang. Jadi, janganlah kita sempitkan pada maksud tersebut saja.
Walau
miskin namun kita diberi kesehatan, itu sudah nikmat yang luar biasa.
Kadang kita mengeluh dengan sempitnya rezeki, padahal Allah tidak
menimpakan kita penyakit. Kita terus masih sehat bugar.
Coba renungkan ayat berikut,
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.” (Tafsir Ath-Thabari, 30: 228)
Kemudian Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rezeki, yaitu rezekinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rezeki berupa nikmat sehat pada jasadnya.” (Tafsir Ath-Thabari, 30: 228)
Dari Mu’adz bin ‘Abdullah bin Khubaib, dari bapaknya, dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak mengapa seseorang itu kaya asalkan bertakwa. Sehat bagi
orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan hati yang bahagia
adalah bagian dari nikmat.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad, 5: 372. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Coba renungkan ayat berikut,
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ
عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Rabbku
telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi
rezekinya Maka Dia berkata: “Rabbku menghinakanku“. (QS. Al-Fajr: 15-16)Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.” (Tafsir Ath-Thabari, 30: 228)
Kemudian Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rezeki, yaitu rezekinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rezeki berupa nikmat sehat pada jasadnya.” (Tafsir Ath-Thabari, 30: 228)
Dari Mu’adz bin ‘Abdullah bin Khubaib, dari bapaknya, dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
Sehat ternyata lebih penting … Walhamdulillah, Allah masih tetap terus beri kita kesehatan.